Inspirasi dari Mbah Painem

1 komentar

Bertemu Mbah Painem
Menjadi anggota DPR harus memikul tugas yang tidak ringan mengingat kita harus menghapus stigma negatif bahwa anggota DPR dikenal sebagai sarang koruptor dan hanya memperhatikan kepentingan pribadi ketimbang memperhatikan aspirasi rakyat. Ketika berdialog dengan masyarakat , pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap sekali muncul kepada saya dan itu menjadi bukti bahwa masyarakat telah melek terhadap informasi berita di media masa. Saya katakan, itulah oknum. Bukan saja di DPR, di Lembaga-lembaga yang lain selalu saja ada oknum yang mengotori institusi. Di DPR ada 560 anggota,  yang terkena kasus dan masuk penjara tidak ada 5%nya. Itu artinya karena ulah segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, dampaknya harus diterima semua anggota. Untuk itu saya selalu berjanji akan tetap menjadi anggota DPR yang bertanggung jawab dan selalu mengingat amanat masyarakat yang telah memilihnya.

Ketika musim kampanye yang lalu, saya mengalami pengalaman yang menyentuh yang mungkin akan selalu saya ingat. Seperti biasa ketika masa kampanye saya harus melakukan sosialisasi, konsolidasi dan penggalangan ke daerah pemilihan. Daerah pemilihan saya adalah Jatim VII yang terdiri dari Ngawi, Magetan, Ponorogo, Trenggalek dan Pacitan.

Saya selalu memilih jalur melewati Tawangmangu ketika ada kegiatan di Magetan. Disamping pemandangannya yang bagus, hawa pengunungan yang sejuk, ada penjual sop favorit saya di Tawangmangu. Ditengah perjalanan itulah saya melihat orang tua berjalan tertatih menggendong tumpukan kayu dipunggungnya. Batin saya mengatakan, se usia nenek itu harusnya sudah beristirahat dirumah dan menikmati hidup sambil mengamati anak cucunya tumbuh dan berkembang. Naluri kemanusiaan saya tersentuh dan dengan cepat menyuruh sopir menghentikan laju mobil.

Saya hampiri dan mencoba menyapanya  yang akhirnya saya ketahui nenek ini bernama painem. Tiap hari ia selalu memunguti ranting pohon di pinggiran hutan sarangan atau diladang-ladang untuk menghidupi dirinya dan cucunya yang masih sekolah. Ia harus berjalan di jalan yang mendaki dan turunan yang tajam sejauh hampir 5 km, setiap hari. Ketika saya tanyakan, bagaimana ia menghadapi keadaan yang berat dimana harga-harga semakin mahal ini, dengan bijak dan senyuman yang tidak pernah lepas ia mengatakan bahwa ia harus mencari ranting lebih banyak dari biasanya dan mengisi sisa waktunya menjadi buruh untuk menambah pemasukan. Tidak ada ruang mengeluh dan tetap optimis menghadapi keadaan. Karena masa kampanye, pertanyaan selanjutnya saya arahkan seputar Pemilu, ‘nanti milih apa, Mbah?’ Tanya saya. Ia malah balik bertanya,’Kira-kira yang bisa merubah keadaan bisa jadi lebih mudah yang mana?’ begitu kira-kira ketika diartikan. satu pertanyaan yang sederhana tetapi sulit untuk dijawab. Ia menambahkan bahwa tiap Pemilu selalu datang untuk menyalurkan hak politiknya dengan membawa harapan yang sederhana, yakni hidupnya bisa semakin mudah dan ia tak salah memilih pemimpin. Tetapi tiap Pemilu ke Pemilu hasilnya selalu sama dan ia masih tetap seperti itu. Ia juga bercerita ditiap Pemilu selalu dapat bingkisan dengan maksud mengarahkan pilihannya tetapi ia sudah hafal dan tetap berpegang teguh bahwa pilihan adalah soal keyakinan pribadi. Lalu tanpa berlama-lama saya berpamitan dan tak lupa mengenalkan diri sebelumnya.

Hampir di tiap Pemilu masyarakat kecil selalu menjual hak-hak demokrasinya untuk menopang kebutuhan hidupnya melalui tansaksi-transaksi yang sangat sederhana tanpa berfikir resiko terhadap kualitas anggota legislatif. Disinilah berlaku hukum pasar, siapa yang membeli suara mereka dengan harga yang lebih mahal, dialah yang akan dipilih dalam pemilu. Dalam perjalanan saya berharap, semoga di Indonesia masih banyak Painem-Painem yang lain, yang masih tetap memiliki keteguhan sikap dalam menyalurkan hak politiknya, seorang pekerja keras yang tidak pernah menyerah terhadap keadaan dan selalu optimis memandang hidup.. Semoga (@ry)

Kunjungan kerja ke 'kampung idiot'

1 komentar

Memakaikan baju ke penderita keterbelakangan mental
Ponorogo – Kunjungan kerja ke daerah pemilihan selalu membawa semangat lebih dibandingkan dengan kunjungan kerja ke daerah yang lain. Tentu berkaitan dengan tanggungjawab yang harus diemban selaku wakil masyarakat. Disini wakil rakyat dapat secara langsung berhadapan dengan  realita dan permasalahan daerah. Termasuk yang dilakukan Dra. Mardiana Indraswati dalam kunjungan kerja Komisi IX  DPR RI di Desa Krebet Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo Jawa Timur. Seperti yang telah diberitakan diberbagai media, disini ditemukan adanya penduduk yang memiliki keterbelakangan mental hingga dikenal dengan kampung idiot. Dra. Mardiana Indraswati mengatakan ,’Saya pribadi kurang sependapat mengenai sebutan tersebut, saya lebih bisa menyebut masyarakat dengan kebutuhan khusus.’

Dengan salah satu penderita usia anak-anak
Dra. Mardiana Indraswati menjelaskan ,’Jauh sebelum ini menjadi pemberitaan, saya sudah pernah menyampaikan persoalan ini terhadap dinas terkait. Terbukti memang sudah banyak bantuan dari pemerintah dan pihak-pihak yang concern menanggulangi persoalan ini. Setelah meminta keterangan pihak-pihak terkait dan melihat secara langsung, Dra. Mardiana Indraswati berpendapat selain kondisi ekonomi rendah dan kekurangan asupan gizi, kasus penderita keterbelakangan mental disebabkan oleh perkawinan sedarah. ‘Persoalan ini harus mendapat perlakuan khusus,’ tambahnya. Persoalan keterbelakangan mental ini selain di Desa Krebet, juga terjadi di Desa Karangpatihan. Data Kabupaten Ponorogo merinci, dari 111 jiwa yang masuk kelompok keluarga dengan masalah keterbelakangan mental, sebagaimana data resmi desa setempat, mayoritas warga idiot ini berusia 40 tahun ke atas. Sebagian lain berusia antara 30-40 tahun, dan sebagian kecil lagi adalah usia balita hingga dewasa.

Dari total 1.756 KK yang tercatat di administrasi desa, 1.203 KK di antaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah sebanyak itu sudah termasuk 49 KK yang sebagian atau seluruh anggota keluarganya mengalami keterbelakangan mental.
Bersama penderita usia dewasa
Ini menandakan bahwa pembangunan di Indonesia belum merata, belum menyentuh masyarakat pedalaman dan daerah pedesaan. Dra. Mardiana Indraswati menambahkan,’ pembangunan di ponorogo masih terpusat di kota, belum merata dan banyak kondisi perkampungan di beberapa kecamatan masih tetap sama dari dulu’.
 
Ia berjanji akan mengangkat persoalan ini lebih mendalam disaat rapat kerja dengan Menteri Kesehatan, Menteri Tenaga Kerja, BKKBN dan dengan Gubenur Jatim Soekarwo. “Pasca kunker ini, Komisi IX akan panggil semua elemen terkait untuk duduk bersama mencari solusi pembenahannya,” ujarnya (@ry)

Berjuang bersama rakyat

0 komentar

Dra. Mardiana Indraswati bersama Komunitas Becak
Lama berkecimpung di dunia Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan menyelami seluk beluk wiraswata akhirnya mendorong Mardiana untuk terjun ke dunia Politik dan menjatuhi pilihan pada Partai Amanat Nasional (PAN). “Terus terang dari dahulu memang saya sangat senang berorganisasi baik sosial maupun keagamaan,”papar perempuan kelahiran Solo, dimana masa kecilnya ia habiskan di Ponorogo ini. Indras (begitu ia biasa dipanggil) mengaku sejak dahulu dirinya sudah aktif menjadi Ketua Osis, Ketua HMI FEUII. “yang jelas di kampus saya sangat aktiflah dalam kegiatan-kegiatan kampus Jadi saya dalam kegiatan berpolitik itu sudah lama,” terangnya. Bahkan, tambahnya, setelah nikah dia terjun menjadi pengusaha dan sekaligus merangkap menjadi dosen.

Meninjau salah satu UKM Binaan
Dia menambahkan, sejak puluhan tahun berwiraswasta dirinya sudah memiliki karyawan yang cukup banyak sekitar 65 orang bahkan ada yang sudah bekerja selama 25 tahun. “Terus terang memang sistem saya sederhana tapi buktinya yang saya jalani sampai sekarang bahwa dari kegiatan wiraswasta sekitar 20 tahun yang lalu saya tekuni pegawai saya rata-rata sudah bekerja selama kurang lebih 25 tahun bahkan fluktuasinya kurang lebih 65 sampai 100 orang, sementara yang tetap hanya 65 orang,”papar Istri dari Ir. Ismail Madjid.

Dia menambahkan, memang sudah niatnya untuk mengumpulkan tenaga kerja sebanyak-banyak sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat kecil. “Setelah saya masuk DPR harta saya malah makin berkurang banyak,”kelakar perempuan kelahiran 28 Januari 1960.

Menurutnya, dirinya terjun kepolitik karena dorongan dari masyarakat dan tokoh reformasi Amien Rais. “Saya juga sudah lama menjalani kegiatan sosial di Jawa Timur kemudian saya diminta untuk jadi calon anggota legislatif di Pemilu 2004. Menjadi anggota DPR, jadi bukan karena pribadi, bahkan Alhamdulillah sekarang saya dipercaya lagi masuk Senayan menjadi Anggota DPR dari PAN untuk yang ke dua kalinya,”tutur ibu dengan 3 orang anak.

Berbaur dengan masyarakat nelayan Trenggalek
Dia menambahkan, sebagai wakil rakyat selama ini sangat merasakan bahwa seorang legislator dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam merumuskan dan memperjuangkan aspirasi politik rakyat yang diwakilinya. Bukan saja menanggung beban politis tapi lebih-lebih beban teknis. Banyak kendala bagaimana sebuah aspirasi tidak langsung dapat diwujudkan dan diperjuangkan hanya karena seseorang telah duduk dikursi DPR. Dan sejatinya, perjuangan dilegislatif tidak dapat dianggap mudah dan menyenangkan hanya karena ada dukungan fasilitas Negara, sebuah tindakan yang dilakukan seorang anggota Dewan yang diyakini benar dan tepat waktu dapat saja dipahami salah dan keliru oleh pihak lain karena dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan. Tetapi ini sudah merupakan jalan pengabdian kemasyarakatan yang tidak pernah terputus dari masa muda. Bagi saya, saya berniat dan bertekad memanfaatkan kedudukan tersebut dengan kerja keras dan penuh tanggung jawab (@ry)

Free Website templatesFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesSEO Web Design AgencyMusic Videos OnlineFree Wordpress Themes Templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree Web Templates